Madrasah Hadhramaut : Fase-fase Takabbur
Penuhi hatimu dengan cinta kepada manusia, cinta kebaikan bagi mereka, sebagai wujud kasih sayang terhadap mereka. Nabi SAW bersabda, “Orang-orang yang penuh cinta akan disayang oleh Yang Maha Pemilik cinta, Yang Mahasuci lagi Mahatinggi....”
Hati tidaklah diciptakan untuk bersenang-senang dengan kenikmatan dunia. Benar, makanan dan minuman dapat dinikmati oleh mulut, pemandangan yang indah dapat pula dinikmati oleh matamu, demikian pula segala sesuatu yang dibolehkan untuk dinikmati oleh nafsumu dan semua anggota tubuh yang berkaitan dengannya berdasarkan bentuk-bentuk kenikmatannya masing-masing. Akan tetapi, tidaklah patut bagi hati untuk memiliki ketergantungan terhadap kesenangan-kesenangan dunia itu. Sesungguhnya cinta terhadap dunia adalah pangkal setiap kesalahan.
Karenanya, tampillah terhadap hatimu untuk mengobati masalah ini, yakni hubbud dunya (cinta dunia). Dan untuk mengobati masalah ini, langkah yang harus ditempuh adalah melepaskan diri dari masalah ini. Yakni bagaimana kita memahami maksiat-maksiat hati dan bagaimana membersihkannya dari segala bentuk maksiat. Fondasinya, kubahnya, ataupun juga atapnya.
Setiap bentuk kemaksiatan hati memiliki kaitan erat dengan hubbud dunya, cinta kepada dunia. Dan cinta kepada dunia memiliki beberapa unsur. Di antara unsur-unsur cinta dunia itu adalah takabbur, hasud, dan riya’. Itulah sebabnya, engkau membutuhkan cara untuk menyikapi semua unsur tersebut agar dapat melepaskan hatimu dari semua unsur itu sehingga hatimu dapat selamat dari cinta kepada dunia.
Selain itu, tampillah terhadap hatimu untuk membersihkannya dengan menghindarkan hatimu dari berburuk sangka kepada manusia, merendahkan mereka, atau merasa lebih mulia dari mereka.
Penuhi hatimu dengan cinta kepada manusia, cinta kebaikan bagi mereka, sebagai wujud kasih sayang terhadap mereka. Nabi SAW bersabda, “Orang-orang yang penuh cinta akan disayang oleh Yang Maha Pemilik cinta, Yang Mahasuci lagi Mahatinggi. Sayangilah siapa pun yang berada di bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh siapa pun yang di langit.”
Para ulama menyebut hadits ini al-musalsal bil awwaliyah. Apa yang dimaksud dengan musalsal bil awwaliyah?
Musalsal bil awwaliyah maknanya adalah setiap hadits yang diterima dari gurunya dengan mengucapkan, “Guruku, Fulan, mengatakan kepadaku dan pertama kali yang aku dengar darinya adalah hadits ini....”
Mengapa pertama kali yang disampaikan dan diperdengarkan adalah sabda Nabi SAW, “Orang-orang yang penuh cinta akan disayang oleh Yang Maha Pemilik cinta, Yang Mahasuci lagi Mahatinggi. Sayangilah siapa pun yang berada di bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh siapa pun yang di langit.”?
Para ulama mengatakan, karena awal mula seorang penuntut ilmu mendengarkan ilmu dalam hadits Nabi SAW berupa hadits rahmat merupakan permulaan yang memberikan kesiapan awal yang benar bagi mereka di dalam memahami makna-makna bagaimana bersikap dengan ilmu. Kesiapan itu akan menjadikan para penuntut ilmu semakin bertambah sifat rahmatnya terhadap makhluk setiap kali bertambah ilmunya, sehingga bertambah pula kedekatannya kepada Allah SWT.
Jika kita datangi satu per satu penyakit-penyakit hati, kita akan mendapati bahwa yang paling berbahaya, paling dalam, paling sulit dikenali, paling berat, dan yang paling sulit untuk dihadapi dari penyakit-penyakit hati, adalah tiga penyakit itu. Yakni takabbur, hasud, dan riya’. Ketiga penyakit ini adalah penyakit hati dan tempatnya pun di dalam hati, yang selanjutnya diterjemahkan dalam berbagai bentuk tindakan, baik berupa perbuatan maupun ucapan. Maksiat pertama dari maksiat-maksiat hati adalah takabbur, sombong. Penyakit ini asal mulanya adalah penyakit yang sangat halus bernama ujub.
Apa itu ujub? Ujub adalah pengakuan dan penisbahan atas kelebihan yang dimiliki kepada diri sendiri bukan kepada taufiq Allah SWT.
Engkau sukses dalam satu pekerjaan, misalnya, lalu engkau katakan, “Ini karena kebrilianan dan strategi yang aku terapkan. Ini hasil jerih payahku.”
Wahai saudaraku, banyak orang yang juga memiliki strategi dan kemampuan yang lebih hebat dari apa yang engkau lakukan. Akan tetapi mereka tidak sukses seperti dirimu. Apakah yang membedakan antara mereka dan dirimu?
Ia berkata, “Bisa saja situasi dan kondisinya.”
Lalu siapakah yang mengatur segala kondisi dan keadaan? Bukankah semuanya di bawah pengaturan Allah SWT?
Bila seseorang melihat dirinya memiliki kemampuan untuk menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW, misalnya, dari manakah kemampuan itu berasal?
Ia berkata, “Aku berusaha dan bersusah payah serta dengan jerih payahku mendatangi guru-guru.”
Benar. Akan tetapi siapa yang memberimu taufiq untuk dapat melakukan semua itu? Allah SWT!
Bila engkau mampu untuk menghimpun satu kadar tertentu dari harta, yang dipandang bernilai dalam pandangan manusia, dan engkau infakkan di jalan kebaikan, memang benar engkaulah yang mengeluarkan semua itu. Akan tetapi siapa yang memberimu ilham untuk melakukan hal itu? Tidak lain adalah Allah SWT!
Menisbahkan kelebihan dan keutamaan yang dimiliki kepada diri sendiri, itulah yang disebut ujub. Yakni kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri. Dan ujub itulah asal mula penyakit takabbur yang berada dalam diri manusia.
Bila dalam diri seseorang terdapat ujub, akan muncullah takabbur. Pohon takabbur itu pun akan tumbuh subur di dalam hatinya.
Ketahuilah, sesungguhnya takabbur memiliki dua sisi. Sisi bathin dan sisi lahir. Dan sisi bathin takabbur adalah pengakuan terhadap kelebihan diri sendiri atas orang lain.
Apa maknanya?
Maknanya, “Aku melihat diriku lebih mulia dari orang lain. Aku lebih utama dari orang lain. Aku lebih baik dari orang lain.” Inilah yang dikatakan oleh Iblis. Ia berkata, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Aku lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” — QS Al-A`raf (7): 12.
Apakah sesuatu yang telah membuat Iblis menjadi hina. Sesuatu itu adalah ucapan “Aku lebih baik darinya.” Yakni Iblis memandang dirinya lebih mulia dan lebih utama dari makhluk Allah lainnya.
Apa yang kemudian dilahirkan dari pengakuan terhadap keutamaan diri sendiri terhadap orang lain? Pengakuan itu akan melahirkan perasaan merasa lebih tinggi dan lebih mulia dari orang lain.
Mahkota para Malaikat...
Takabbur pada awalnya yang muncul hanyalah sebatas perasaan yang ada di dalam hati. Namun selanjutnya perasaan itu akan berubah menjadi sikap dan tindakan. Inilah fase-fase takabbur. Dan berikut adalah penjelasan tentang fase-fase tersebut:
Pertama, dalam hati. Takabbur bermula dalam diri seseorang dengan merasa kagum terhadap dirinya. Ia menisbahkan kelebihan dan keistimewaan yang dimilikinya kepada dirinya sendiri, tidak kepada Allah SWT. Selanjutnya ia membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain dan melihat dirinya lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan selainnya.
Keadaan hati semacam itu akan terus berada dalam kekacauan, karena ia tidak menisbahkannya kepada karunia Allah SWT.
Ia akan terus membanding-bandingkan. “Aku adalah ini... aku adalah anu.... Dia hanya.... Mereka pun hanya... mereka lebih rendah dariku!”
Ia melihat dirinya lebih utama dari orang lain. Namun semua itu masih berada dalam batasan hati. Masih berupa lintasan-lintasan yang berada dalam hati. Apa yang kemudian ditimbulkan dari kondisi semacam itu?
Kedua, tindakan. Misalnya, berjalan di hadapan orang lain tapi tidak menyapa atau memberi salam kepada mereka. Ia menunggu sampai mereka yang terlebih dahulu menyapanya atau mengucapkan salam kepadanya.
Kondisi hati itu telah berubah menjadi tindakan dalam tingkah laku. Ia memandang orang lain dengan pandangan hina dan merendahkan, bergaul dengan orang lain dengan pergaulan yang kering tanpa kehangatan, dan menolak untuk menerima kebenaran dari orang lain bila mereka menasihatinya.
Apa yang selanjutnya dilahirkan dari tindakan-tindakan ini?
Iblis pada awalnya adalah ahli ibadah. Ia termasuk hamba Allah yang sungguh-sungguh menjalankan berbagai bentuk ibadah, sampai-sampai dikatakan bahwa tidaklah terdapat satu jengkal tanah pun di muka bumi ini kecuali ditemukan bekas sujud Iblis, sujudnya kepada Allah SWT.
Hanya saja perbuatan itu baru berupa amalan lahir, yang tidak disertai dengan penyucian hati. Sehingga, setiap kali sujud, setiap kali itu pula ia merasakan perbuatannya sebagai jerih payah dirinya semata.
“Aku telah mengeluarkan ini untuk-Mu, wahai Tuhan! Aku sudah sujud kepada-Mu, wahai Rabb! Aku melakukan ini! Aku... aku... dan aku...!”
Permasalahan sesungguhnya adalah dirinya sendiri. Permasalahan itu kembali kepada dirinya sendiri. Setelah itu mengarah kepada memandang yang lain lebih hina dan lebih rendah dari dirinya.
“Wahai Tuhanku, aku telah sujud kepada-Mu dan aku sudah berbuat ini dan itu untuk-Mu....”
Muncul sesuatu di dalam hatinya.
Karena ibadahnya, Iblis semakin tinggi derajatnya dan masuk ke dalam golongan para malaikat muqarrabin.
Setelah mendapatkan kedudukan itu, ia pun mulai membanding-bandingkan keadaan dirinya dengan keadaan para muqarrabin lainnya. “Aku beribadah lebih banyak dibandingkan mereka....”
Iblis semakin berusaha keras mencari ketinggian derajat dalam ibadahnya kepada Allah, terus... terus, dan terus... hingga sampai kepada derajat menjadi penghulu para muqarrabin. Ia dijuluki Thawus al-Malaikah (Mahkota para Malaikat).
Mahasuci Allah, sampai batasan ini muncul masalah di dalam hatinya. Ia menisbahkan ibadahnya kepada dirinya sendiri dan tidak kepada Allah SWT. Ia terjatuh ke dalam ujub dan mulai membanding-bandingkan keadaan dirinya dengan yang lain.
“Aku penghulu sekalian muqarrabin... aku mahkota para malaikat.”
Bahaya Takabur
Seseorang yang menempatkan dirinya di atas kesombongan dan berdiam diri serta menganggap perkara ini sesuatu yang sepele, sesungguhnya bahaya yang pertama baginya adalah bahwa ia telah mempertunjukkan dirinya untuk melakukan perang terhadap Allah SWT.
Imam As-Suyuthi mengeluarkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih, Allah SWT berfirman, “Kesombongan adalah pakaian kebesaran-Ku. Barang siapa mengambil pakaian kebesaran itu dari-Ku, niscaya Aku binasakan.”
Apakah engkau melihat ada satu bahaya yang lebih besar dari ini?
Seseorang yang menempatkan dirinya di atas kesombongan dan berdiam diri serta menganggap perkara ini sesuatu yang sepele, sesungguhnya bahaya yang pertama baginya adalah bahwa ia telah mempertunjukkan dirinya untuk melakukan perang terhadap Allah SWT. Apa sebab ia dikatakan telah menabuh genderang peperangan terhadap Allah SWT? Karena perbuatan tersebut merupakan puncak dari permusuhan yang sesungguhnya.
Mengapa dikatakan permusuhan? Karena engkau menyatakan sesuatu yang bukan milikmu. Engkau merebut hak Allah SWT di dalam sifat-sifat-Nya, karena hanya milik-Nya-lah segala bentuk kesombongan dan kebesaran.
Kata al-kibriya’ diambil dari kata akbar, sesuatu yang paling besar. Dia-lah Yang Mahabesar. Ini berarti engkau menantang Yang Mahabesar SWT. Di dalam shalat engkau ucapkan, “Allah Mahabesar.” Lalu bagaimana mungkin engkau merasa besar dan menyombongkan diri? Sungguh ini sesuatu yang sangat berbahaya.
Para ulama mengatakan, sesungguhnya Allah SWT memiliki sifat Jalaliyah (Keagungan), Kamaliyah (Kesempurnaan), dan sifat Jamaliyah (Keindahan). Dan ibadah kita kepada Allah SWT adalah bahwa di hadapan sifat keagungan-Nya kita harus berbuat dengan apa-apa yang menjadi lawanannya.
Allah memiliki sifat kesombongan, apa yang semestinya kita miliki? Yang mesti kita miliki adalah kerendahan hati (at-tawadhu‘).
Allah memiliki sifat ketinggian dan kemuliaan, apa yang seharusnya kita miliki? Kita semestinya memiliki sifat merendahkan diri dan merasa hina.
Allah memiliki sifat Mahakaya, kita semestinya memiliki sifat faqir dan teramat bergantung. Bagi Allah kemahakuasaan, bagi kita adalah kelemahan.
Bila Allah SWT memadang kepadamu sedangkan engkau berakhlaq dengan akhlaq yang patut dan semestinya untukmu, yakni berakhlaq dengan akhlaq yang menjadi kebalikan dari sifat-sifat keagungan dan akhlaq-akhlaq ketuhanan, niscaya Allah pun akan ridha kepadamu.
Adapun sifat-sifat kemahaindahan ketuhanan Allah SWT, kita mengikutinya dan berakhlaq dengan sifat-sifat kemahaindahan-Nya tersebut. Allah bersifat Maha Pengasih, jadilah engkau seorang pengasih. Allah Maha Dermawan, jadilah engkau seorang dermawan. Allah Mahabijaksana, jadilah engkau seorang yang bijaksana. Sifat-sifat ini keseluruhannya adalah sifat-sifat yang disukai Allah untuk ditiru dan diikuti.
Di sana terdapat sifat-sifat kesempurnaan Allah SWT. Apabila engkau telah dapat mewujudkan kebalikan dari sifat-sifat keagungan-Nya, kesombongan dengan kerendahan hati, kebesaran dan kemuliaan dengan kerendahan diri, kemahakayaan dengan kefaqiran dan teramat butuh terhadap Allah SWT, dan engkau pun telah pula mewujudkan sifat-sifat keindahan Allah SWT dalam dirimu, Allah bersifat Maha Pengasih, engkau menjadi seorang pengasih, Allah Maha Dermawan, engkau menjadi seorang dermawan, Allah Mahabijaksana, engkau menjadi seorang yang bijak... Allah SWT akan bertajalli terhadap dirimu dengan sifat-sifat kemahasempurnaan-Nya.
Engkau lemah, Allah akan memberikan kekuatan kepada-Mu dari kekuatan-Nya, Allah akan memberikan ketegaran dari kekuatan-Nya. Engkau bodoh, Allah akan memberikan pengetahuan dan hikmah dari ilmu dan hikmah-Nya. “Dan Kami telah mengajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” — QS Al-Kahfi (18): 65. Allah SWT memberikan ilmu kepadamu, karena engkau telah melakukan muamalah yang baik dengan asma-asma Allah SWT dan sifat-sifat-Nya.
Hamba yang sombong adalah sebab dari kerusakan yang terjadi di atas muka bumi ini. Bagaimana mungkin engkau berjalan menuju Allah SWT sedangkan engkau berbuat kerusakan di atas muka bumi, yang Allah amanahkan kepadamu agar engkau menjadi khalifah Allah di atasnya?
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.” — QS Al-Baqarah (2): 30.
Peliharalah bumi ini, dan jangan merusaknya.
Apa maknanya?
Sesungguhnya sebagian besar dari segala kesulitan yang ada di muka bumi ini sumbernya adalah dari kesombongan (al-kibr). Segala apa yang engkau lihat dan saksikan dari berbagai pertumpahan darah, perampasan hak orang lain, dan tindakan anarkis, penipuan, suap-menyuap, pencurian, pemutusan silaturahim, kebencian dan tidak saling menyapa, dan sebagainya, awalnya tidak lain adalah tunduknya jiwa terhadap kesombongan.
Dalam hal ini berarti kita sedang berbicara tentang sesuatu yang berkaitan dengan bagaimana menyelesaikan berbagai masalah yang melingkupi kita di dunia ini.
Akan tetapi dari manakah dimulainya jalan keluar dari berbagai masalah yang ada di dunia ini?
Jalan keluar dari semua masalah itu sesungguhnya tidaklah dapat dimulai dengan seseorang di antara kita membusungkan dadanya, menghentakkan napasnya, dan memandang bahwa hanya dirinyalah orang shalih yang akan membenahi bumi ini dari kerusakan, sekalipun itu dengan nama Islam. Melainkan hal itu dimulai dengan kembalinya setiap manusia kepada hatinya untuk membersihkannya dari segala penyakit yang ada di dalamnya.
Mengobati Penyakit Takabur
Ada dua cara mengobati penyakit takabur, yaitu ilmu dan amal. Pertama, ilmu. Yakni hendaklah engkau mengetahui siapa dirimu? Coba ingatlah, renungkanlah, baca, pelajari, dan cari tahu siapa dirimu sesungguhnya? Awalmu adalah setetes air mani dan akhirmu adalah bangkai yang kotor dan di antara keduanya itu engkau membawa kotoran.
Apa sesungguhnya dirimu? Dari apa engkau diciptakan? Dan apa kelak akhir dari dirimu? Engkau adalah si lemah yang teramat rapuh hanya oleh lapar dan letih yang menderamu!
Imam Ali bin Abi Thalib RA pernah berkata, “Sungguh aku heran terhadap orang yang berlaku sombong padahal ia hanyalah si lemah yang bau tak sedap karena keringatnya, dapat terbunuh bila mencuri, dan tak dapat tidur hanya karena kuman kecil yang menggerogoti tubuhnya.”
Hakikatnya memang engkau adalah makhluk yang lemah, yang tiada berdaya. Akan tetapi kekuatan akan datang kepadamu dengan penyandaranmu kepada Allah SWT.
Bila engkau telah memahami perkara ini dan kemudian ilmu ini telah berubah menjadi sesuatu yang mengkristal di dalam dirimu, ia membutuhkan sesuatu yang lain di sampingnya, yakni obat yang kedua bagi takabur, yaitu amal perbuatan.
Maka, cara mengobati penyakit takabur yang kedua adalah amal perbuatan. Dalam hal ini ada dua perkara yang hendaknya dilakukan.
Pertama, hauslah akan perbuatan-perbuatan yang dapat menumbuhkan sifat tawadhu‘, sifat rendah hati. Untuk berbuat lebih dulu dalam perbuatan-perbuatan itu. Setiap kali engkau berjumpa dengan siapa pun, lakukanlah lebih dahulu untuk menyapa mereka. Ucapkanlah salam kepadanya, dan jabatlah tangannya, siapa pun orangnya, kecil ataupun besar, teman, atau bahkan musuh.
Engkau yang harus terlebih dahulu memulainya. Jangan biarkan bisikan-bisikan nafsumu mendiktemu.
Wahai murid pencari ridha Allah, hati-hatilah! Jangan sampai nafsumu menertawakanmu dan berkata kepadamu, “Lakukanlah sesuatu dari sifat kesombongan, karena kesombongan adalah keutamaan!” Tinggalkan bisikan itu. Mulailah terlebih dahulu untuk mengucapkan salam dan berjabat tangan kepada siapa pun yang engkau jumpai.
Kedua, bersegeralah untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang memiliki keutamaan dan dapat mengalahkan nafsu.
Engkau masuk ke dalam masjid, misalnya, dan engkau dapati ada sesuatu yang kotor di dalamnya, ambil dan bersihkanlah. Syaikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya‘rawi adalah salah seorang pembesar ulama ahli hati. Di waktu-waktu tertentu beliau tidak terlihat di kediamannya. Murid-murid beliau pun mencarinya ke sana-kemari dan tidak menemukannya. Ternyata beliau sedang berada di dalam WC masjid. Beliau menutup pintu WC dan membersihkan kotoran-kotorang yang ada di kloset dan sekitarnya.
Ketika orang-orang dekatnya bertanya kepada beliau tentang hal itu, beliau menjawab, “Aku takut terhadap takabur atas diriku... aku takut kalau-kalau aku merasa ujub atas diriku... di saat orang-orang memanggilku, ‘Syaikh Sya`rawi... Syaikh Sya`rawi... ’, insan televisi, menteri, para pembantu, sanak keluargaku, dan semua kepercayaan orang terhadapku. Aku takut semua itu menjadi rusak. Karenanya aku bermaksud mengingatkan diriku dengan sesuatu dari pekerjaanku ini.”
Itulah sebabnya, engkau akan mendapati bahwa, bagi orang yang hatinya telah takluk oleh sifat takabur, sulit baginya untuk menerima hal semacam ini. Jika engkau katakan kepadanya “Bangkitlah dan bersihkan kotoran itu”, ia akan berkata, “Apa urusanku dengan kotoran ini? Engkau ingin aku membersihkannya?”
Mari kita mengingat riwayat tentang Uwis Al-Qarni – semoga Allah merahmatinya. Suatu hari ia mengumpulkan sisa-sisa makanan dari tempat-tempat sampah, mengaisnya dan membersihkannya. Setelah itu makanan-makanan itu ia bagi-bagikan kepada para faqir miskin yang sangat membutuhkan, yang tidak menemukan makanan di hari itu. Dan dalam munajatnya, ia selalu berkata, “Ya Allah, janganlah Engkau adzab diriku karena orang-orang yang tidur dalam keadaan lapar dari umat Nabi Muhammad.”
Dengarlah, wahai saudara-saudaraku pengusaha, yang dikaruniai harta yang berlimpah. Beliau yang tiada berharta dan tidak pula memiliki makanan ini telah mengais sisa-sisa makanan dari tempat-tempat sampah, membersihkannya, dan membagi-bagikannya kepada orang-orang faqir yang membutuhkan dan berkata dalam munajatnya, “Ya Allah, janganlah Engkau adzab diriku karena orang-orang yang tidur dalam keadaan lapar dari umat Nabi Muhammad.”
Suatu hari seekor anjing yang tengah lapar mendekati Uwis Al-Qarni yang tengah mengais sisa-sisa makanan di tempat sampah dan menggonggong di hadapannya karena merasa terganggu terhadap kehadiran Uwis di tempat itu. Uwis pun berkata kepada anjing itu, “Wahai anjing, janganlah engkau menyakitiku, karena aku pun tidak akan menyakitimu. Aku hanya mengambil yang layak untukku dan engkau pun mengambil yang layak untukmu. Jika kelak aku dapat melewati shirath dan masuk ke dalam surga, sungguh keadaanku lebih baik darimu. Namun jika aku tergelincir dari shirath dan jatuh ke dalam neraka, sungguh engkau lebih baik dariku.”
Benar, di hari Kiamat nanti anjing akan kembali menjadi debu. Dan seseorang dari kita – nauzhu billahi min dzalik – bila masuk ke dalam neraka, apa yang dapat berguna baginya? Maka sungguh anjing lebih baik baginya.
Kisah ini tidaklah dimaksudkan agar engkau memberi makan orang-orang faqir dari tempat sampah. Sama sekali tidak! Melainkan yang kami inginkan adalah agar sifat takabur yang ada di dalam hati kita keluar dan pergi. Kita hendak mengobati penyakit-penyakit yang ada di dalam hati kita.
Hendaklah kita haus untuk melakukan perbuatan-perbuatan itu. Dan di antara perbuatan-perbuatan tersebut adalah berkhidmah kepada para faqir miskin. Carilah anak yatim piatu, orang-orang faqir, atau mereka yang telah jompo. Bantulah untuk mencucikan pakaian mereka atau membantu menuntun mereka masuk ke kamar mandi untuk membantu mereka mandi, karena dalam setiap pekerjaan ini terdapat makna mengalahkan sifat takabur dalam jiwa. Berat memang terasa bagi nafsu, akan tetapi padanya terdapat pengekangan bagi nafsu dan pendidikan terhadapnya.
Bila kedua langkah ini, ilmu dan amal, sudah dilakukan, mengobatinya haruslah disertai dengan kesungguhan doa kepada Allah SWT.
Sumber :majalah-alkisah,com
sufiroad,blogspot,com/2013/06/madrasah-hadhramaut-fase-fase-takabbur.html
Comments
Post a Comment
-Berkomentarlah yang baik dan rapi.
-Menggunakan link aktif akan dihapus.