Madrasah Hadhramaut : Jendela Bathin
Ketahuilah, bila engkau relakan hatimu menjadi halaman bagi datang dan perginya berbagai macam dan rupa lintasan-lintasan baik ataupun buruk dalam bentuk apa pun, engkau tidak akan pernah bisa mengontrol segala tingkah laku dan perbuatanmu untuk selama-lamanya.
Setelah engkau pelihara jendela-jendela lahir yang dapat mencemari hati, baik pada siang maupun malam hari, selanjutnya terdapat jendela-jendela lain yang perlu mendapat perhatian kita. Jendela-jendela yang sesungguhnya mempengaruhi mata dalam memandang, telinga dalam mendengar, dan lidah dalam bertutur kata. Jendela-jendela itu adalah jendela bathin, sebagaimana telah disinggung pada penjelasan yang lalu.
Para ulama suluk menyebut jendela-jendela bathin ini dengan nama al-khawathir, yakni lintasan-lintasan yang muncul di dalam hati. Jendela jenis ini tidak dapat diindra, dan tidak pula berupa materi.
Setiap bentuk ketaatan yang disukai Allah SWT yang telah mewujud dalam bentuk perbuatan tidak lain berawal dari satu lintasan yang ada di dalam hati. Terlintas ketaatan di dalam hatimu lalu engkau melakukannya. Demikian pula setiap maksiat yang dimurkai Allah yang telah mewujud dalam bentuk perbuatan, itu pun tidak lain berawal dari satu lintasan yang ada di dalam hati.
Dosa-dosa besar, kefasikan, kedurhakaan, aniaya, dan semua kezhaliman yang banyak dilakukan banyak manusia, dari manakah asalnya? Asal semua itu adalah lintasan-lintasan yang ada di dalam hati lalu mereka memenuhi panggilan lintasan-lintasan itu. Lintasan-lintasan itu adalah jendela-jendela bathin hati yang datang kepada hati dari dalam dirinya sendiri. Dan jendela-jendela ini memiliki empat sumber:
Pertama, dari an-nafs (nafsu) yang disebut al-hawa (hasrat atau keinginan).
Lintasan yang bersumber dari nafsu disebut “hawa nafsu”. Di tengah kemarau yang terik, misalkan, engkau tengah berpuasa fardhu. Di saat yang sama engkau melihat air yang sejuk dan dingin. Apa yang diinginkan oleh nafsumu? Tentu engkau ingin meneguk air itu. Dari mana datangnya lintasan itu? Lintasan itu datang dari nafsu, dari kebutuhan nafsu, dari keinginan nafsu.
Seseorang dengan serta merta mengejekmu dengan ejekan yang menyakitkan, tentu engkau ingin segera menamparnya. Datang lintasan kepadamu untuk menamparnya. Dari mana lintasan untuk menampar itu datang? Lintasan itu datang dari nafsu, dari keinginan nafsu, dari perbuatan nafsu.
Kedua, dari setan, sebagaimana dalam hadits, “Setan itu memberikan bisikan kepada hati anak Adam. Bila ia berdzikir kepada Allah, setan akan menangguhkannya. Namun bila ia lupa dari berdzikir kepada Allah, setan pun akan kembali membisikinya.”
Lintasan yang bersumber dari setan ini dinamakan al-waswas (bisikan), sebagaimana dalam firman Allah SWT, “Dari kejahatan waswasil khannas (bisikan setan yang biasa bersembunyi).” – QS An-Nas (114): 4.
Ketiga, dari malaikat, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang dikeluarkan oleh Imam As-Suyuthi dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Sesungguhnya setan memiliki bisikan kepada anak adam, dan sesungguhnya malaikat pun memiliki bisikan pula. Adapun bisikan setan adalah mendatangkan keburukan dan pengingkaran terhadap kebenaran, sedang bisikan malaikat adalah mendatangkan kebaikan dan pengakuan terhadap kebenaran. Oleh karena itu barang siapa mendapatkan bisikan semacam itu (kebaikan), ketahuilah, sesungguhnya itu datangnya dari Allah, maka pujilah Allah; dan barang siapa mendapatkan bisikan selain dari itu (keburukan), memohonlah perlindungan kepada Allah dari setan.”
Dari dasar ini, para ulama kemudian menamakan bisikan setan dengan nama waswasah dan bisikan malaikat dengan nama lummatul malak.
Keempat, dari al-khawathir (lintasan-lintasan) yang datang langsung dari sisi Allah SWT yang ditanamkan ke dalam hati.
Semua lintasan itu memang secara hakikat datang dari Allah SWT, baik sebagai musibah maupun anugerah, baik sebagai ujian maupun karunia. Namun di luar sumber-sumber yang telah disebutkan terdapat lintasan-lintasan yang Allah SWT tanamkan secara langsung ke dalam hati seorang hamba mukmin dari sisi kemahatinggian-Nya.
Lintasan semacam ini para ulama menyebutnya “ilham”, sebagaimana firman Allah SWT, “Dan demi jiwa serta penyempurnaannya, Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya.” – QS Asy-Syams (91): 7-8.
Lintasan-lintasan yang ada dalam hati seorang salik sangatlah banyak, bahkan di hati setiap insan di atas muka bumi ini. Bila engkau mencoba untuk mengontrol satu lintasan yang datang di dalam hatimu dalam satu waktu, perhatikanlah, berapa lintasan yang akan datang pada saat itu juga di dalam hatimu?
Di saat engkau merasakan haus, datanglah lintasan di dalam hatimu, “Pergilah dan minumlah!” Lalu datang lagi lintasan yang lain, “Tetapi aku harus buru-buru, sudah janji Fulan akan datang, aku harus segera menyambutnya.” Datang lagi lintasan yang lain, “Wah, kok aku bisa lupa dengan acara anu… semua di tempatku lagi?” Dan demikian seterusnya, datang silih-berganti berbagai macam rupa lintasan dalam hatimu, sampai-sampai seorang ahli pendidikan pernah mengatakan, dalam sehari semalam lebih dari 70.000 lintasan datang ke dalam hati seorang manusia.
Hal yang penting bagi seorang salik menuju Allah dalam memelihara hatinya adalah bagaimana ia mampu mendatangkan lintasan-lintasan kebaikan, mendengarkannya dengan seksama, dan kemudian memenuhinya, dan bagaimana agar ia mampu berpaling dari lintasan-lintasan keburukan dan menanggalkannya. Dengan melakukan hal tersebut, insya Allah engkau akan dapat memahami berbagai hakikat yang dapat menimbulkan dan mendatangkan dorongan-dorongan untuk semakin dekat kepada Allah SWT.
Lintasan-lintasan yang datangnya dari sumber kebaikan akan memperluas pemahaman dan pandangan hati terhadap kebaikan dan selanjutnya ia pun menghendaki kebaikan. Lintasan-lintasan yang membawa bisikan keburukan, bila engkau tidak menghentikannya dari hatimu, bila engkau tidak mengobatinya, bila engkau tidak bersungguh-sungguh dalam mengekangnya, dan bila engkau tidak menjaga hatimu dari semua itu dan tidak pula membentenginya, akan terus-menerus melakukan serangan-serangan terhadap hati dan memperdayanya untuk berbuat keburukan.
Sebuah Renungan
Selanjutnya mari kita merenung bersama. Kita renungkan bagaiamana besarnya pengaruh lintasan-lintasan itu terhadap hati. Coba kita perhatikan keadaan kita pada hari ini.
Di zaman sekarang ini, sejak dini hari seseorang telah disibukkan dengan berbagai aktivitas. Sejak pagi, seseorang telah bergelut dengan berbagai kesibukan, dari kemacetan lalu lintas, tugas kantor, tugas seminar, tugas kuliah, urusan pribadi, janji dengan relasi, berhadapan dengan klien, dan sebagainya. Datang waktu malam, ia pun telah lelah, karena seharian bekerja dan beraktivitas. Tanpa disadari, kehidupannya terus berjalan begitu cepatnya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun pun telah berganti tahun.
Kenyataan yang dilakukannya sebagai rutinitas tanpa disadari telah mengambil bagian demi bagian dari dirinya. Ia bangun di waktu pagi dan kembali ke pembaringan di malam hari tanpa mengetahui bagaimana semestinya memelihara dirinya. Tidak siang dan tidak pula malam.
Kita lihat sebagian pemuda. Mereka tengah asyik tertidur, tidak tahu ke mana mereka akan pergi. Di jalanan, asyik-masyuk mendengarkan musik kegemarannya, dari satu lagu kepada lagu berikutnya. Mereka sibuk, lalu kapan mereka berpikir? Kapan duduk untuk merenungi masa yang akan datang dari kehidupannya?
Dalam pembahasan ini, kita tidak sedang berbicara tentang haramnya mendengarkan lagu-lagu tertentu. Yang menjadi pembicaraan kita adalah bagaima seseorang telah menceburkan dirinya ke dalam putaran roda kehidupan dengan cara semacam itu pada sepanjang waktunya, dari satu aktivitas kepada aktivitas lainnya, dari satu kesibukan kepada kesibukan berikutnya. Inilah permasalahan sesungguhnya. Sebab, mungkin saja seseorang mendengarkan satu lagu yang indah dengan syair-syair yang menggugah hati untuk semakin mendekatkan dirinya kepada Allah, atau paling tidak membantunya dalam menjalani rutinitasnya. Ini bukanlah masalah.
Namun bila hidup seseorang telah terpatri pada situasi dan kenyataan semacam itu, meskipun dengan berbagai rupa aktivitasnya, bahkan lebih dari itu, andaikan yang didengarkannya bukanlah lagu-lagu yang haram dan tidak pula diperselisihkan hukumnya sekalipun, dan bahkan misalkan seseorang menghabiskan semua waktunya untuk berbagai macam kesibukan hingga tidak menemukan waktu untuk memikirkan lintasan-lintasan yang datang dalam hatinya, inilah masalahnya.
Lalu apa yang dituntut? Yang dituntut adalah bagaimana seseorang dapat pindah dari kehidupan yang telah dijalaninya semacam itu, yakni bagaimana kenyataan yang selama ini telah melingkupi dirinya dapat mengingatkan kepada kehidupan yang lain, yakni kehidupan akhirat.
Coba tengoklah sedikit ke belakang dan lihatlah kenyataan yang sekarang kita jalani. Yang penting bagi kita, selama kita berjalan menuju Allah, katakanlah, “Aku tidak rela bila harus terbawa arus kehidupan. Aku akan melaksanakan kewajibanku dengan sebaik mungkin. Bila aku seorang siswa, aku akan menjadi siswa yang berprestasi tinggi, namun bukan karena apa-apa, melainkan karena aku memiliki tujuan dari prestasi yang tinggi itu, yakni taqarub kepada Allah. Bila aku seorang pedagang, aku harus menjadi pedagang yang terbaik, karena aku memiliki tujuan, dan tujuanku adalah taqarub kepada Allah. Bila aku seorang arsitek, seorang pegawai, dan lain-lain, akan hidup bersama di tengah-tengah masyarakat, tetapi hatiku bersama Allah.”
Makna “hatiku bersama Allah” yakni menghilangkan segala lintasan keburukan yang datang kepada hati.
Untuk itulah kita butuh suatu keinginan setelah memahami pelajaran ini. Katakan, “Tidak akan pernah kubiarkan datang, pada siang ataupun malam hari, lintasan ke dalam hatiku seperti itu selain aku mempunyai tujuan.”
Ketahuilah, bila engkau relakan hatimu menjadi halaman bagi datang dan perginya berbagai macam dan rupa lintasan-lintasan baik ataupun buruk dalam bentuk apa pun, engkau tidak akan pernah bisa mengontrol segala tingkah laku dan perbuatanmu untuk selama-lamanya. Seseorang pernah mengadu, ia berkata, “Aku telah hadir ke berbagai majelis semacam ini, mataku pun terkadang menangis dan hatiku luluh karena rindu untuk datang kepada Allah SWT, dan aku bertekad untuk istiqamah setelah itu. Namun setelah dua-tiga hari, semua itu hilang dari diriku. Mengapa?”
Jawabnya, karena sesuatu yang menjadikanmu kehilangan semua itu, itu juga yang telah membuatmu kembali kepada apa yang engkau telah bertaubat darinya (maksiat), membawamu kembali kepada kelalaian, dan yang juga melupakanmu kepada makna taraqqi (menggapai kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT). Sesuatu itu adalah bahwa hatimu menjadi halaman yang terbuka untuk datang dan perginya berbagai rupa lintasan kebaikan dan keburukan. Engkau tidak memiliki penyaring yang dapat membiarkan masuknya lintasan yang baik dan mencegah datangnya lintasan-lintasan yang buruk.
Setelah memahami pelajaran ini, yang harus kita lakukan adalah bersungguh-sungguh dalam mengontrol lintasan-lintasan di dalam hati kita dengan jalan menerima lintasan kebaikan dan menolak atau berpaling dari lintasan keburukan.
Perpindahan yang Berbeda
Apa yang akan engkau lakukan bila lintasan itu telah berlalu, berubah menjadi pemahaman, dan kemudian menjadi perbuatan? Engkau telah melakukan suatu perbuatan yang engkau sendiri tidak ingin untuk melakukannya?
Bila itu terjadi, duduklah dan renungkanlah bagaiamana engkau sampai kepada hal itu.
“Aku bersalah kepada si Fulan dalam ucapan karena aku merelakan diriku ikut bersamanya dalam satu perbincangan yang semestinya aku tidak ikut di dalamnya.”
Mengapa? “Karena aku menerima lintasan yang ada dalam hatiku. Lintasan itu berkata, ‘Aku harus meluruskannya, aku lebih hebat dalam pemahaman, dan aku lebih hebat dalam berdebat’.”
Bila engkau sudah mulai membingkai dirimu dengan rangkaian perenungan semacam ini di dalam mengontrol lintasan-lintasan hati, yakni engkau meyakinkan kepada dirimu bahwa engkau memiliki banyak lintasan hati yang perlu untuk dikontrol, setelah itu engkau akan dapat menerima untuk memahami berbagai timbangan untuk mengukur lintasan-lintasan tersebut sebagai wujud dari mujahadatun nafs (pergulatan hati), yang dibarengi dengan penyandaran diri kepada Allah SWT serta berserah diri kepada-Nya. Sehingga, niscaya engkau akan melihat dirimu akan berpindah-pindah dalam kehidupanmu dengan perpindahan yang berbeda dari sebelumnya. Engkau akan berpindah dari keadaaan seorang manusia yang berjalan dengan lintasan-lintasan yang mengarahkannya ke mana pun, dan bagaimana pun bentuknya, kepada keadaan seorang mukmin yang mampu mengendalikan dan mengarahkan lintasan-lintasan hatinya bagaimana seharusnya berjalan.
Semoga Allah mengaruniai kita semua sebaik-baik langkah dalam menghadapi lintasan-lintasan yang datang ke dalm hati.
Sumber :www,majalah-alkisah,com
Setelah engkau pelihara jendela-jendela lahir yang dapat mencemari hati, baik pada siang maupun malam hari, selanjutnya terdapat jendela-jendela lain yang perlu mendapat perhatian kita. Jendela-jendela yang sesungguhnya mempengaruhi mata dalam memandang, telinga dalam mendengar, dan lidah dalam bertutur kata. Jendela-jendela itu adalah jendela bathin, sebagaimana telah disinggung pada penjelasan yang lalu.
Para ulama suluk menyebut jendela-jendela bathin ini dengan nama al-khawathir, yakni lintasan-lintasan yang muncul di dalam hati. Jendela jenis ini tidak dapat diindra, dan tidak pula berupa materi.
Setiap bentuk ketaatan yang disukai Allah SWT yang telah mewujud dalam bentuk perbuatan tidak lain berawal dari satu lintasan yang ada di dalam hati. Terlintas ketaatan di dalam hatimu lalu engkau melakukannya. Demikian pula setiap maksiat yang dimurkai Allah yang telah mewujud dalam bentuk perbuatan, itu pun tidak lain berawal dari satu lintasan yang ada di dalam hati.
Dosa-dosa besar, kefasikan, kedurhakaan, aniaya, dan semua kezhaliman yang banyak dilakukan banyak manusia, dari manakah asalnya? Asal semua itu adalah lintasan-lintasan yang ada di dalam hati lalu mereka memenuhi panggilan lintasan-lintasan itu. Lintasan-lintasan itu adalah jendela-jendela bathin hati yang datang kepada hati dari dalam dirinya sendiri. Dan jendela-jendela ini memiliki empat sumber:
Pertama, dari an-nafs (nafsu) yang disebut al-hawa (hasrat atau keinginan).
Lintasan yang bersumber dari nafsu disebut “hawa nafsu”. Di tengah kemarau yang terik, misalkan, engkau tengah berpuasa fardhu. Di saat yang sama engkau melihat air yang sejuk dan dingin. Apa yang diinginkan oleh nafsumu? Tentu engkau ingin meneguk air itu. Dari mana datangnya lintasan itu? Lintasan itu datang dari nafsu, dari kebutuhan nafsu, dari keinginan nafsu.
Seseorang dengan serta merta mengejekmu dengan ejekan yang menyakitkan, tentu engkau ingin segera menamparnya. Datang lintasan kepadamu untuk menamparnya. Dari mana lintasan untuk menampar itu datang? Lintasan itu datang dari nafsu, dari keinginan nafsu, dari perbuatan nafsu.
Kedua, dari setan, sebagaimana dalam hadits, “Setan itu memberikan bisikan kepada hati anak Adam. Bila ia berdzikir kepada Allah, setan akan menangguhkannya. Namun bila ia lupa dari berdzikir kepada Allah, setan pun akan kembali membisikinya.”
Lintasan yang bersumber dari setan ini dinamakan al-waswas (bisikan), sebagaimana dalam firman Allah SWT, “Dari kejahatan waswasil khannas (bisikan setan yang biasa bersembunyi).” – QS An-Nas (114): 4.
Ketiga, dari malaikat, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang dikeluarkan oleh Imam As-Suyuthi dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Sesungguhnya setan memiliki bisikan kepada anak adam, dan sesungguhnya malaikat pun memiliki bisikan pula. Adapun bisikan setan adalah mendatangkan keburukan dan pengingkaran terhadap kebenaran, sedang bisikan malaikat adalah mendatangkan kebaikan dan pengakuan terhadap kebenaran. Oleh karena itu barang siapa mendapatkan bisikan semacam itu (kebaikan), ketahuilah, sesungguhnya itu datangnya dari Allah, maka pujilah Allah; dan barang siapa mendapatkan bisikan selain dari itu (keburukan), memohonlah perlindungan kepada Allah dari setan.”
Dari dasar ini, para ulama kemudian menamakan bisikan setan dengan nama waswasah dan bisikan malaikat dengan nama lummatul malak.
Keempat, dari al-khawathir (lintasan-lintasan) yang datang langsung dari sisi Allah SWT yang ditanamkan ke dalam hati.
Semua lintasan itu memang secara hakikat datang dari Allah SWT, baik sebagai musibah maupun anugerah, baik sebagai ujian maupun karunia. Namun di luar sumber-sumber yang telah disebutkan terdapat lintasan-lintasan yang Allah SWT tanamkan secara langsung ke dalam hati seorang hamba mukmin dari sisi kemahatinggian-Nya.
Lintasan semacam ini para ulama menyebutnya “ilham”, sebagaimana firman Allah SWT, “Dan demi jiwa serta penyempurnaannya, Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya.” – QS Asy-Syams (91): 7-8.
Lintasan-lintasan yang ada dalam hati seorang salik sangatlah banyak, bahkan di hati setiap insan di atas muka bumi ini. Bila engkau mencoba untuk mengontrol satu lintasan yang datang di dalam hatimu dalam satu waktu, perhatikanlah, berapa lintasan yang akan datang pada saat itu juga di dalam hatimu?
Di saat engkau merasakan haus, datanglah lintasan di dalam hatimu, “Pergilah dan minumlah!” Lalu datang lagi lintasan yang lain, “Tetapi aku harus buru-buru, sudah janji Fulan akan datang, aku harus segera menyambutnya.” Datang lagi lintasan yang lain, “Wah, kok aku bisa lupa dengan acara anu… semua di tempatku lagi?” Dan demikian seterusnya, datang silih-berganti berbagai macam rupa lintasan dalam hatimu, sampai-sampai seorang ahli pendidikan pernah mengatakan, dalam sehari semalam lebih dari 70.000 lintasan datang ke dalam hati seorang manusia.
Hal yang penting bagi seorang salik menuju Allah dalam memelihara hatinya adalah bagaimana ia mampu mendatangkan lintasan-lintasan kebaikan, mendengarkannya dengan seksama, dan kemudian memenuhinya, dan bagaimana agar ia mampu berpaling dari lintasan-lintasan keburukan dan menanggalkannya. Dengan melakukan hal tersebut, insya Allah engkau akan dapat memahami berbagai hakikat yang dapat menimbulkan dan mendatangkan dorongan-dorongan untuk semakin dekat kepada Allah SWT.
Lintasan-lintasan yang datangnya dari sumber kebaikan akan memperluas pemahaman dan pandangan hati terhadap kebaikan dan selanjutnya ia pun menghendaki kebaikan. Lintasan-lintasan yang membawa bisikan keburukan, bila engkau tidak menghentikannya dari hatimu, bila engkau tidak mengobatinya, bila engkau tidak bersungguh-sungguh dalam mengekangnya, dan bila engkau tidak menjaga hatimu dari semua itu dan tidak pula membentenginya, akan terus-menerus melakukan serangan-serangan terhadap hati dan memperdayanya untuk berbuat keburukan.
Sebuah Renungan
Selanjutnya mari kita merenung bersama. Kita renungkan bagaiamana besarnya pengaruh lintasan-lintasan itu terhadap hati. Coba kita perhatikan keadaan kita pada hari ini.
Di zaman sekarang ini, sejak dini hari seseorang telah disibukkan dengan berbagai aktivitas. Sejak pagi, seseorang telah bergelut dengan berbagai kesibukan, dari kemacetan lalu lintas, tugas kantor, tugas seminar, tugas kuliah, urusan pribadi, janji dengan relasi, berhadapan dengan klien, dan sebagainya. Datang waktu malam, ia pun telah lelah, karena seharian bekerja dan beraktivitas. Tanpa disadari, kehidupannya terus berjalan begitu cepatnya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun pun telah berganti tahun.
Kenyataan yang dilakukannya sebagai rutinitas tanpa disadari telah mengambil bagian demi bagian dari dirinya. Ia bangun di waktu pagi dan kembali ke pembaringan di malam hari tanpa mengetahui bagaimana semestinya memelihara dirinya. Tidak siang dan tidak pula malam.
Kita lihat sebagian pemuda. Mereka tengah asyik tertidur, tidak tahu ke mana mereka akan pergi. Di jalanan, asyik-masyuk mendengarkan musik kegemarannya, dari satu lagu kepada lagu berikutnya. Mereka sibuk, lalu kapan mereka berpikir? Kapan duduk untuk merenungi masa yang akan datang dari kehidupannya?
Dalam pembahasan ini, kita tidak sedang berbicara tentang haramnya mendengarkan lagu-lagu tertentu. Yang menjadi pembicaraan kita adalah bagaima seseorang telah menceburkan dirinya ke dalam putaran roda kehidupan dengan cara semacam itu pada sepanjang waktunya, dari satu aktivitas kepada aktivitas lainnya, dari satu kesibukan kepada kesibukan berikutnya. Inilah permasalahan sesungguhnya. Sebab, mungkin saja seseorang mendengarkan satu lagu yang indah dengan syair-syair yang menggugah hati untuk semakin mendekatkan dirinya kepada Allah, atau paling tidak membantunya dalam menjalani rutinitasnya. Ini bukanlah masalah.
Namun bila hidup seseorang telah terpatri pada situasi dan kenyataan semacam itu, meskipun dengan berbagai rupa aktivitasnya, bahkan lebih dari itu, andaikan yang didengarkannya bukanlah lagu-lagu yang haram dan tidak pula diperselisihkan hukumnya sekalipun, dan bahkan misalkan seseorang menghabiskan semua waktunya untuk berbagai macam kesibukan hingga tidak menemukan waktu untuk memikirkan lintasan-lintasan yang datang dalam hatinya, inilah masalahnya.
Lalu apa yang dituntut? Yang dituntut adalah bagaimana seseorang dapat pindah dari kehidupan yang telah dijalaninya semacam itu, yakni bagaimana kenyataan yang selama ini telah melingkupi dirinya dapat mengingatkan kepada kehidupan yang lain, yakni kehidupan akhirat.
Coba tengoklah sedikit ke belakang dan lihatlah kenyataan yang sekarang kita jalani. Yang penting bagi kita, selama kita berjalan menuju Allah, katakanlah, “Aku tidak rela bila harus terbawa arus kehidupan. Aku akan melaksanakan kewajibanku dengan sebaik mungkin. Bila aku seorang siswa, aku akan menjadi siswa yang berprestasi tinggi, namun bukan karena apa-apa, melainkan karena aku memiliki tujuan dari prestasi yang tinggi itu, yakni taqarub kepada Allah. Bila aku seorang pedagang, aku harus menjadi pedagang yang terbaik, karena aku memiliki tujuan, dan tujuanku adalah taqarub kepada Allah. Bila aku seorang arsitek, seorang pegawai, dan lain-lain, akan hidup bersama di tengah-tengah masyarakat, tetapi hatiku bersama Allah.”
Makna “hatiku bersama Allah” yakni menghilangkan segala lintasan keburukan yang datang kepada hati.
Untuk itulah kita butuh suatu keinginan setelah memahami pelajaran ini. Katakan, “Tidak akan pernah kubiarkan datang, pada siang ataupun malam hari, lintasan ke dalam hatiku seperti itu selain aku mempunyai tujuan.”
Ketahuilah, bila engkau relakan hatimu menjadi halaman bagi datang dan perginya berbagai macam dan rupa lintasan-lintasan baik ataupun buruk dalam bentuk apa pun, engkau tidak akan pernah bisa mengontrol segala tingkah laku dan perbuatanmu untuk selama-lamanya. Seseorang pernah mengadu, ia berkata, “Aku telah hadir ke berbagai majelis semacam ini, mataku pun terkadang menangis dan hatiku luluh karena rindu untuk datang kepada Allah SWT, dan aku bertekad untuk istiqamah setelah itu. Namun setelah dua-tiga hari, semua itu hilang dari diriku. Mengapa?”
Jawabnya, karena sesuatu yang menjadikanmu kehilangan semua itu, itu juga yang telah membuatmu kembali kepada apa yang engkau telah bertaubat darinya (maksiat), membawamu kembali kepada kelalaian, dan yang juga melupakanmu kepada makna taraqqi (menggapai kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT). Sesuatu itu adalah bahwa hatimu menjadi halaman yang terbuka untuk datang dan perginya berbagai rupa lintasan kebaikan dan keburukan. Engkau tidak memiliki penyaring yang dapat membiarkan masuknya lintasan yang baik dan mencegah datangnya lintasan-lintasan yang buruk.
Setelah memahami pelajaran ini, yang harus kita lakukan adalah bersungguh-sungguh dalam mengontrol lintasan-lintasan di dalam hati kita dengan jalan menerima lintasan kebaikan dan menolak atau berpaling dari lintasan keburukan.
Perpindahan yang Berbeda
Apa yang akan engkau lakukan bila lintasan itu telah berlalu, berubah menjadi pemahaman, dan kemudian menjadi perbuatan? Engkau telah melakukan suatu perbuatan yang engkau sendiri tidak ingin untuk melakukannya?
Bila itu terjadi, duduklah dan renungkanlah bagaiamana engkau sampai kepada hal itu.
“Aku bersalah kepada si Fulan dalam ucapan karena aku merelakan diriku ikut bersamanya dalam satu perbincangan yang semestinya aku tidak ikut di dalamnya.”
Mengapa? “Karena aku menerima lintasan yang ada dalam hatiku. Lintasan itu berkata, ‘Aku harus meluruskannya, aku lebih hebat dalam pemahaman, dan aku lebih hebat dalam berdebat’.”
Bila engkau sudah mulai membingkai dirimu dengan rangkaian perenungan semacam ini di dalam mengontrol lintasan-lintasan hati, yakni engkau meyakinkan kepada dirimu bahwa engkau memiliki banyak lintasan hati yang perlu untuk dikontrol, setelah itu engkau akan dapat menerima untuk memahami berbagai timbangan untuk mengukur lintasan-lintasan tersebut sebagai wujud dari mujahadatun nafs (pergulatan hati), yang dibarengi dengan penyandaran diri kepada Allah SWT serta berserah diri kepada-Nya. Sehingga, niscaya engkau akan melihat dirimu akan berpindah-pindah dalam kehidupanmu dengan perpindahan yang berbeda dari sebelumnya. Engkau akan berpindah dari keadaaan seorang manusia yang berjalan dengan lintasan-lintasan yang mengarahkannya ke mana pun, dan bagaimana pun bentuknya, kepada keadaan seorang mukmin yang mampu mengendalikan dan mengarahkan lintasan-lintasan hatinya bagaimana seharusnya berjalan.
Semoga Allah mengaruniai kita semua sebaik-baik langkah dalam menghadapi lintasan-lintasan yang datang ke dalm hati.
Sumber :www,majalah-alkisah,com
sufiroad,blogspot,com/2013/04/madrasah-hadhramaut-jendela-bathin.html
Comments
Post a Comment
-Berkomentarlah yang baik dan rapi.
-Menggunakan link aktif akan dihapus.