Kisah Merana Editor Kampungan


salah satu buku yang saya editori
Entah karena alasan apa, beberapa bulan terkahir saya selalu diminta untuk mengeditori sejumlah tulisan, baik untuk buletin ataupun buku. Padahal, soal pengetahuan gramatika, saya termasuk orang yang masih buta, bahkan untuk hal-hal yang sangat dasar sekalipun, misalnya tentang sususan SPOK.

Saya lalu berkesimpulan bahwa unsur kedekatanlah yang membuat mereka mau menyerahkan sejumlah tulisannya untuk saya acak-acak, bukan soal profesionalisme atau kemahiran. Karena saya lihat, banyak teman-teman yang lain bahkan lebih mahir ketimbang saya. Namun, karya tersebut malah tidak jatuh ke tangan mereka.

Ini adalah kesempatan untuk belajar, begitulah saya meyakinkan diri. Dan memang benar adanya. Pangalaman mengeditori sejumlah tulisan membuat saya kian banyak belajar tentang tatabahasa. Saya dipertemukan dengan pengetahuan-pengetahuan baru yang muncul karena kesulitan-kesulitan yang saya hadapi dalam tulisan-tulisan tersebut. Dengan persoalan yang timbul, saya berusaha untuk mencari pemecahannya, baik melalui bertanya atau membaca literatur-literatur.

Dalam pencarian tersebut, kadang saya berjumpa dengan hal-hal unik dan terkesan kecil. Misalnya, saya harus mencari referensi hingga membutuhkan waktu yang lama hanya untuk mengetahui apakah kata �ayahku� huruf depannya dibesarkan (kapital) ataukah tidak. Atau, saya harus meminta bantuan seorang guru untuk tahu kapan �pun� harus dipisah atau disambung.

Hal ternikmat dari pencarian tersebut tentu saja ketika menemukan apa yang saya cari. Hal-hal yang sangat kecil tapi butuh usaha yang besar untuk mendapatkannya. Akhirnya saya tahu kenapa orang-orang sebesar Rendra dan Seno Gumira Ajidarma sangat memperhatikan soal detail. Detail yang bagus butuh kerja keras untuk membenahi segala lini, termasuk hal-hal yang kesannya amat sederhana.

Bagi saya, mengedit tulisan bukanlah pekerjaan gampang. Butuh kejelian dan penguasaan tatabahasa yang mapan. Saya yang memang lemah dalam tatabahasa tentu kian membutuhkan banyak tenaga dan pikiran untuk membenahi sebuah tulisan, karena disamping mengedit, saya juga harus belajar terlebih dahulu. Saya selalu wasawas kalau-kalau ada sesuatu yang kurang dari apa yang sudah saya kerjakan. Berkali-kali saya harus membaca ulang tulisan-tulisan yang sudah saya edit. Wajarlah jika prosesnya selesai tidak tepat waktu.

Sesuai pengalaman, saya mengedit tulisan adik-adik yang kebanyakan masih baru belajar menulis. Kondisi ini tentu saja mengirim kesulitan tersendiri bagi saya. Seringkali saya dipertemukan dengan kembimbangan-kebimbangan ketika ada kalimat atau paragraf yang tidak sempurna dan tidak jelas maksudnya, apakah harus dibikin sebuah kalimat baru atau saya ubah sedikit saja? Kalau saya bikin kalimat baru, berarti ini bukan lagi tulisan mereka, melainkan tulisan saya sendiri. Inilah kebingungan yang sepele, tapi kadang menghantui saya.

Pengalaman serupa juga diakui oleh teman saya. Jika dihadapkan dengan pilihan demikian, ia memilih tidak membikin kalimat baru. Hanya membenahi kata atau tanda baca yang salah. Ini cara aman untuk menghindari campur tangannya secara total dalam tulisan yang dia edit.

Dari semua itu, hal yang paling menjemukan bagi saya adalah ketika menemui adanya kesalahan setelah tulisan tersebut selesai dicetak. Ketahuan bahwa saya memang tidak punya keahlian dalam hal mengedit sebuah tulisan. Padahal saya sudah mengulang-ulang membacanya. Kenapa masih saja banyak salahnya? Akhirnya saya kembali kepada pepatah lama untuk menghibur diri, �Tak ada gading yang tak retak�.  

Comments

Popular posts from this blog

Cara Membuat Halaman Login Hotspot Berbeda pada 1 Mikrotik

UltraISO Premium Edition v9.5.3

Arti OSAKMJ