Kacamata
Saya umpamakan Anda sedang berada dalam kerumunan teman-teman Anda yang terlibat sebuah diskusi alot. Masing-masing melayangkan jawaban dan sanggahan silih berganti. Diskusi akhirnya selesai tanpa memperoleh kesimpulan, sebagaimana lumrah dalam diskusi mahasiswa karena sedikitnya buku yang mereka baca. Mereka berhenti karena kelelahan. Saat istirahat, cobalah iseng-iseng kumpulkan teman-teman Anda yang memakai kacamata, lalu tanyakan, untuk apa mereka mencantolkan makhluk tersebut di depan matanya?
Jawabannya sudah pasti berbeda-beda. Mungkin ada yang menjawab karena minusnya sudah 1, 2, 3 atau 4. Itu jawaban lumrah dan tak perlu diperdebatkan meski mungkin mereka membohongi Anda. Biarkan, dia akan menjumpai balasan kebohongannya kelak. Yakinlah itu.
Di antara jawaban yang lain, barangkali ada juga yang menggunakan kalimat ini, �Biar gaya dong!�. Untuk jawaban macam begitu, ada baiknya Anda menahan diri untuk tidak mengomentari. Sebab, ciri-ciri pemakai kacamata dengan alasan demikian tingkahnya akan makin membuat Anda senewen. Semakin Anda beri dia pengertian, semakin dia tak ingin melepas kacamatanya. Itu penyakit narsis stadium empat.
Kita tahu, ada banyak muda-mudi yang bola matanya kena minus lebih suka memakai kacamata ketimbang rajin memakan wortel untuk mengembalikan saraf-saraf penglihatannya agar kembali normal. Bahkan, anehnya, kadang tingkat minusnya masih sangat rendah dan tidak menghalangi penglihatannya. Apa sebabnya?
Rahasia lama mengatakan, orang yang memakai kacamata identik dengan kutu buku, ilmuan yang menghabiskan banyak literatur dalam sekali duduk. Menjumpai orang-orang seperti ini kita tidak boleh ngomong sedikit karena ia bisa menanggapinya panjang lebar, melebihi rel kereta api, tentu dengan mulut berbusa-busa pula. Anggapan seperti itu masih bertahan hingga sekarang. Maka, berlomba-lombalah mereka memakai kacamata agar dianggap intelek. Kalau berbicara di hadapan teman-temannya tak lupa tiap beberapa detik mereka memperbaiki letak kacamatanya, seperti seorang profesor sedang memberi kuliah kepada anak didiknya, dan kacamatanya sering melorot tiap dia berbicara.
Kalau saya melihat lebih jauh, ini bukan hanya soal kacamata. Tetapi ia juga menjelaskan tentang eksistensi seseorang. Mereka yang memakainya barangkali ingin dianggap sebagai orang yang cerdas. Sebagaimana kita tahu, orang yang memiliki otak brilian akan mendapat tempat tersendiri dalam kehidupan. Nah, para pemakai kacamata yang ikut-ikutan itu barangkali mengejar tempat itu. Mereka ingin dilihat sebagai orang yang cerdas, walaupun cara mereka salah. Sebab, kecerdasan tidak berkorelasi dengan kacamata.
Dan yang perlu diingat, mata minus itu tidak normal, lho. Jadi, bersyukurlah yang tidak memakai kacamata karena Allah masih memberi nikmat kepada penglihatan kita.
madura, 28 maret 2012
Komentar
Posting Komentar
-Berkomentarlah yang baik dan rapi.
-Menggunakan link aktif akan dihapus.