Arti Imajinasi dan Definisi Imajinasi
Imajinasi berasal dari kalimat "imaginationis more important than knowledge" sudah sering diulang-ulang penganjur imajinasi. Mungkin ada banyak orang yang mulai bosan mendengarnya, tetapi tetap saja kalimat itu lolos dan nongol dalam sejumlah tulisan. Menurut saya, sebabnya satu, Albert Einstein, si empunya kalimat, belum bisa dikatakan bohong hingga sekarang perihal apa yang diucapkannya. Kedudukan imajinasi tetap lebih tinggi ketimbang ilmu pengetahuan. Itu belum terbantahkan.
Meski sering terdengar, tetapi tidak berarti kalimat itu sakti. Ia tetap seperti kalimat-kalimat lain, yang jika tidak diimbangi dengan sebuah laku, maka hanya akan menjadi kalimat yang tumpul. Dan kenyataan pahit itu sungguh telah lama kita lakukan, walau kadang tanpa terasa.
Ada banyak perilaku dalam kehidupan kita yang membuat imajinasi makin kering. Kita bisa ambil salah satu contoh sederhana berikut. Dulu, ketika musim layang-layang, saya dan teman-teman selalu sibuk mencari berbagai macam peralatan untuk ikut meramaikan musim tersebut. Tiap datang sekolah kami berkumpul membuat layang-layang bersama. Kakak sepupu saya sangat jago dalam membuat benda ini, sehingga dia tidak hanya membikin untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk dijual kepada teman-teman yang lain.
Tiap sore hari, layang-layang itu kami naikkan ke udara untuk diadu. Tidak hanya mengadu seberapa kuat dan tajam lapisan beling pada benang layang-layang kami, tetapi lebih dari itu adalah ketangkasan dalam mengendalikan layang-layang di udara. Bagaimanapun, faktor kecerdikan membaca kelemahan lawan sangat penting dalam hal ini. Adu layang-layang barangkali adalah miniatur sebuah peperangan yang juga butuh strategi.
Itu kebiasaan saya dan teman-teman ketika masih kanak-kanak dulu. Setelah berbilang tahun saya mondok dan suatu ketika kebetulan pulang, saya sudah sangat jarang mendapati kanak-kanak di kampung saya terlibat dalam pembuatan layang-layang. Bilapun mereka suka mengadu, kebanyakan malah membeli layang-layang yang sudah jadi di toko. Ditambah lagi dengan animo mereka yang makin susut terhadap layang-layang.
Apa yang salah dari perilaku di atas? Tidak ada yang salah, karena ini tak ada sangkut pautnya dengan hukum fiqih maupun hukum negara. Hanya saja, ada beberapa hal yang harus dilihat kembali sebagai sebuah refleksi.
Pertama, ada yang hilang dari kebersamaan mereka dalam membuat sesuatu yang bisa mengembangkan imajinasi masing-masing. Mengadu layang-layang mungkin lebih banyak orang menggolongkannya sebagai sesuatu yang tidak berguna. Memang bukan itu yang saya tilik. Tetapi unsur kebersamaannya. Bagaimana mereka berkerja sama mengamankan layang-layang yang putus dari jarahan musuh. Bagaimana mereka membikin strategi, menyiapkan alat-alat, membuat rangka layang-layang dan seterusnya. Itu bukan hal yang sederhana dalam rangka membangun karakternya.
Kedua, anak-anak sekarang lebih suka menggunakan mainan yang instan. Coba lihat anak kecil di kanan-kiri kita. Perhatikan apa yang ada di tangan mereka. Pasti mayoritas adalah benda-benda dari hasil membeli. Kita bisa menderetkan beberapa benda itu di sini, ada boneka, mobil-mobilan, kapal-kapalan, televisi-televisian, pistol-pistolan, dan seterusnya. Nyaris tak ada tempat bagi benda-benda hasil kerajinan sendiri, ruang kretifitas yang seharusnya dikembangkan.
Persoalannya bukan cuma karena mereka harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan itu semua. Namun, yang terpenting adalah benda-benda instan tersebut membatasi ruang imajinasi anak-anak. Ketika anak-anak disodori mobil-mobilan, maka itu yang akan terus ia ingat. Bahwa bentuk mobil-mobilan harus seperti itu. Padahal ada banyak macamnya jika mereka mau membuat sendiri.
Selain soal imajinasi, ada juga permainan yang sangat berpengaruh terhadap psikologi anak-anak. Dialah game. Permainan yang satu ini bisa mengakibatkan kejiawanan anak terganggu. Mereka jadi individualistis karena permainan itu dilakukan oleh satu atau dua orang. Belum lagi kreativitas yang dibatasi oleh pembuat game sendiri.
Lalu, masihkan kita menyodorkan mainan-mainan itu untuk anak kita kelak? "Ah, situ ketinggalan jaman, Mas Bro," nurani saya memberontak.
Madura, 14 Maret 2012
Meski sering terdengar, tetapi tidak berarti kalimat itu sakti. Ia tetap seperti kalimat-kalimat lain, yang jika tidak diimbangi dengan sebuah laku, maka hanya akan menjadi kalimat yang tumpul. Dan kenyataan pahit itu sungguh telah lama kita lakukan, walau kadang tanpa terasa.
Ada banyak perilaku dalam kehidupan kita yang membuat imajinasi makin kering. Kita bisa ambil salah satu contoh sederhana berikut. Dulu, ketika musim layang-layang, saya dan teman-teman selalu sibuk mencari berbagai macam peralatan untuk ikut meramaikan musim tersebut. Tiap datang sekolah kami berkumpul membuat layang-layang bersama. Kakak sepupu saya sangat jago dalam membuat benda ini, sehingga dia tidak hanya membikin untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk dijual kepada teman-teman yang lain.
Tiap sore hari, layang-layang itu kami naikkan ke udara untuk diadu. Tidak hanya mengadu seberapa kuat dan tajam lapisan beling pada benang layang-layang kami, tetapi lebih dari itu adalah ketangkasan dalam mengendalikan layang-layang di udara. Bagaimanapun, faktor kecerdikan membaca kelemahan lawan sangat penting dalam hal ini. Adu layang-layang barangkali adalah miniatur sebuah peperangan yang juga butuh strategi.
Itu kebiasaan saya dan teman-teman ketika masih kanak-kanak dulu. Setelah berbilang tahun saya mondok dan suatu ketika kebetulan pulang, saya sudah sangat jarang mendapati kanak-kanak di kampung saya terlibat dalam pembuatan layang-layang. Bilapun mereka suka mengadu, kebanyakan malah membeli layang-layang yang sudah jadi di toko. Ditambah lagi dengan animo mereka yang makin susut terhadap layang-layang.
Apa yang salah dari perilaku di atas? Tidak ada yang salah, karena ini tak ada sangkut pautnya dengan hukum fiqih maupun hukum negara. Hanya saja, ada beberapa hal yang harus dilihat kembali sebagai sebuah refleksi.
Pertama, ada yang hilang dari kebersamaan mereka dalam membuat sesuatu yang bisa mengembangkan imajinasi masing-masing. Mengadu layang-layang mungkin lebih banyak orang menggolongkannya sebagai sesuatu yang tidak berguna. Memang bukan itu yang saya tilik. Tetapi unsur kebersamaannya. Bagaimana mereka berkerja sama mengamankan layang-layang yang putus dari jarahan musuh. Bagaimana mereka membikin strategi, menyiapkan alat-alat, membuat rangka layang-layang dan seterusnya. Itu bukan hal yang sederhana dalam rangka membangun karakternya.
Kedua, anak-anak sekarang lebih suka menggunakan mainan yang instan. Coba lihat anak kecil di kanan-kiri kita. Perhatikan apa yang ada di tangan mereka. Pasti mayoritas adalah benda-benda dari hasil membeli. Kita bisa menderetkan beberapa benda itu di sini, ada boneka, mobil-mobilan, kapal-kapalan, televisi-televisian, pistol-pistolan, dan seterusnya. Nyaris tak ada tempat bagi benda-benda hasil kerajinan sendiri, ruang kretifitas yang seharusnya dikembangkan.
Persoalannya bukan cuma karena mereka harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan itu semua. Namun, yang terpenting adalah benda-benda instan tersebut membatasi ruang imajinasi anak-anak. Ketika anak-anak disodori mobil-mobilan, maka itu yang akan terus ia ingat. Bahwa bentuk mobil-mobilan harus seperti itu. Padahal ada banyak macamnya jika mereka mau membuat sendiri.
Selain soal imajinasi, ada juga permainan yang sangat berpengaruh terhadap psikologi anak-anak. Dialah game. Permainan yang satu ini bisa mengakibatkan kejiawanan anak terganggu. Mereka jadi individualistis karena permainan itu dilakukan oleh satu atau dua orang. Belum lagi kreativitas yang dibatasi oleh pembuat game sendiri.
Lalu, masihkan kita menyodorkan mainan-mainan itu untuk anak kita kelak? "Ah, situ ketinggalan jaman, Mas Bro," nurani saya memberontak.
Madura, 14 Maret 2012
Comments
Post a Comment
-Berkomentarlah yang baik dan rapi.
-Menggunakan link aktif akan dihapus.