Di LPM Instika, Mari Berkeluarga!
Untuk sesuatu yang menarik, waktu akan menemukan relativitasnya. Ia akan terasa sangat cepat berlalu bagai kilatan cahaya. Ya, begitulah yang saya rasakan sekarang. Dua periode (2009-2010 dan 2010-2011) di Lembaga Pers Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (LPM-Instika) barangkali bila ia adalah sesuatu yang menjemukan akan seperti bertahun-tahun lamanya. Dan itu sungguh sangat menyiksa. Tapi kenyataannya tidak, LPM-Instika adalah tempat berproses yang sangat menyenangkan.
Menuliskan tentang kenangan belajar bersama di LPM-Instika tentulah tak cukup hanya dalam selembar kertas ini. Terlebih lagi, ia juga melibatkan emosi yang mungkin tak bisa diakomodasi oleh sekian kata-kata. Bagaimana mungkin saya bisa menarasikan dengan sempurna emosi saya ketika tangan Anam yang kekar meninju punggung saya, misalnya. Atau ketika saya tertawa mendapati Aciek dan Fandrik diadu-domba oleh kawan-kawan. Nah, hal yang demikian itu mungkin hanya menjadi konsumsi perasaan. Narasi yang dimunculkan tak akan sanggup mengembannya.
Muara dari segala kenangan itu adalah sikap kekeluargaan. Walaupun saya tidak terlalu aktif di LPM, saya merasakannya begitu lekat dalam kehidupan sehari-hari teman-teman. Tentu, saya tak mungkin menafikan sejumlah kecil sentimen-sentimen yang muncul. Wajarlah, karena kami adalah manusia yang memiliki sifat alamiah: amarah. Namun, sentimen-sentimen itu tak cukup mampu meretakkan hubungan kekeluargaan yang sudah terbangun. Sehabis gontok-gontokan, mereka pun mengguyonkan banyak hal, semisal Paisun yang belum juga punya pasangan, atau Majid yang tiba-tiba jadi agen CIA alias penyampai pesan-pesan rahasia.
Hal yang sangat saya sukai dari teman-teman LPM adalah guyonan mereka. Bila bicara tentang persoalan membanyol, jari telunjuk segera menuding Guguk, lelaki unik yang biasa bicara ceplas-ceplos ini. Bisa dipastikan, segala adu-domba dipantik olehnya. Sekutu setianya adalah Syamsuni, lelaki yang menikah muda dua kali. Ia selalu berada di belakang Guguk bila sedang ngerjain teman-teman. Hampir bisa dipastikan tak ada yang luput dari sasaran mereka berdua, termasuk saya sendiri. Di kemudian hari saya berkesimpulan, mungkin itulah salah satu cara mereka berdua berkomunikasi membangun jaringan. Terbukti, keduanya sekarang menjadi Presma dan ketua DPM.
Tentu saja bicara LPM-Instika bukan hanya persoalan banyol-membanyol belaka. Ada banyak kegiatan ruwet yang mesti kami jalani. Tapi, saya tak menuliskannya di sini karena ia merupakan tugas yang sudah semestinya kami kerjakan. Itu sangat tidak manarik bagi saya. Justru persoalan mengguyon adalah laku menarik karena ia bisa mengimbangi keruwetan-keruwetan kerja kami tersebut. Dengannya, pekerjaan makin terasa ringan. Saya tak sanggup membayangkan bila pekerjaan kami justru harus dihiasi dengan muka-muka masam. Sungguh siksaan yang tiada tara.
Untuk periode selanjutnya, saya sudah tak lagi menjadi pengurus LPM-Instika. Semua rekam proses itu akan menjadi konsumsi masa lalu yang sulit dilupakan. Untuk teman-teman yang masih akan menjalaninya, saya sarankan untuk tertawa meski hanya satu kali dalam sehari. Karena itu adalah pertanda bahwa kalian tidak tega membunuh teman-teman kalian sendiri dengan cara menyodorkan muka masam. Salam.
diterbitkan pula di "Fajar News" LPM Instika, Guluk-Guluk, Sumenep
Komentar
Posting Komentar
-Berkomentarlah yang baik dan rapi.
-Menggunakan link aktif akan dihapus.